Daily Archives: Juli 4, 2012
[Fiksi] Ketika Sang Pangeran Berguru bagian 2
Sang Raja, ayah dari Pangeran yang pernah ditampar itu pun sakit keras dan akhirnya meningga dunia. Setelah upacara pemakaman sang Raja selesai dilaksanakan, sang Pangeran yang dulu pernah berguru pada Guru bijak pun akhirnya dilantik menjadi Raja. Raja baru itu pun segera memerintahkan pengawalnya menjemput sang Guru yang pernah menamparnya dan meninggalkannya di hutan. Para pengawal pun segera mendatangi gubuk sang Guru. Sang Guru dengan tenang berkata “Aku tahu kalian akan datang untuk membawaku menghadap Raja baru itu. silakan”. Tanpa basa basi lagi, mereka pun membawa sang Guru dan membawanya menghadap sang Raja di Ruang Singgasana Istana. Sang Raja, yang sudah menantikan kehadiran sang Guru, menatapnya dengan pandangan penuh kemarahan dan kebencian. Namun, ternyata pandangan itu sama sekali tidak berarti bagi Sang Guru. Dia tetap tenang memandang sang Raja seakan tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa. Sang Raja pun makin murka, “Berlutut” bentaknya, namun Sang Guru tetap tegak berdiri. “Pengawal” perintah sang Raja “Buat dia berlutut dihadapanku”. “Baik Yang Mulia” kata dua orang pengawal bersamaan. Mereka pun segera memegang bahu sang Guru dan menekannya ke bawah sehingga beliau pun terpaksa berlutut. Namun, walau dalam keadaan berlutut, sang Guru sama sekali tidak merasa gentar, beliau tetap tenang.
“Aku tahu selama ini kau tidak sabar menantikan pelantikanmu sebagai seorang raja karena ingin membalas perlakuanku padamu. Aku juga yakin kau akan sangat penasaran ingin mengetahui apa maksudku menamparmu dengan keras dan meninggalkanmu di hutan malam itu hingga kau letih, kedinginan dan kelaparan” kata sang Guru sambil tersenyum mengejek, sepertinya dia ingin mempermainkan emosi sang Raja yang baru bertahta itu. “Yang Mulia, izinkan hamba memenggal kepala petapa kurang ajar ini, dia malah mempermainkan Paduka” seorang pengawal menyela. “Diam kamu!!” bentak Raja “aku ingin tahu apa maksud dia menamparku malam itu“. Sambil menahan amarah, Raja pun berkata “Tentu saja aku ingin tahu kenapa kamu menamparku padahal aku tidak berbuat kesalahan yang berarti selama aku menjadi muridmu“. “Baiklah” kata Sang Guru sambil tiba-tiba bangkit berdiri tanpa diminta sang Raja “akan aku jelaskan“. “Wahai kau, Raja yang sekarang sedang berkuasa, sungguh akan tiba masanya kau akan merasa mampu melakukan apa saja yang kau inginkan” kata sang Guru dengan suara yang menggelegar bagi guntur, menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya di ruang singgasana istana tersebut. “Para pengawal setiamu, seperti yang baru saja ingin memenggal kepalaku, dapat kau perintah untuk menzalimi siapapun yang kau kehendaki. Terlalu mudah bagimu untuk berbuat aniaya pada sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya.” Sang Guru meneruskan kata-katanya sambil menatap sang Raja dengan tatapan yang tajam “Oleh karena itu, aku berikan sedikit rasanya dizalimi dan dianiaya orang lain. Aku sengaja membuatmu merasakan sedikit perasaan tak berdaya, tak berharga dan tak berarti apa-apa. Aku sengaja berbuat demikian agar saat berkuasa engkau tidak seenaknya menggunakan kekuasaan yang kau miliki untuk berbuat tidak adil. Sungguh, jika engkau berbuat tidak adil dan membuat para pengawalmu menganiaya sesama manusia, perasaan mereka akan jauh lebih sakit daripada yang pernah kau rasakan karena tamparanku. Aku juga sengaja membuatmu merasakan lapar, dingin, letih dan kepayahan agar kau dapat memahami perasaan rakyatmu. Banyak diantara mereka yang merasakan penderitaan yang jauh lebih berat daripada keletihan dan kelaparan yang kau rasakan malam itu. Itulah alasanku melakukan semua itu“. Sang Guru terdiam sejenak, mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, setelah itu dia berkata dengan tenang “Sekarang, setelah semuanya jelas, berikan keputusanmu yang seadil-adilnya. Apakah kau akan memerintahkan para pengawalmu untuk memenggal kepalaku? Silakan”.
Sang Raja yang tadinya penuh kesombongan dan arogansi tiba tiba menggigil ketakutan. Wajah penguasa negeri itu mendadak pucat pasi dan tubuhnya berkeringat dingin. Lalu dengan spontan dia berlutut dan memeluk kaki sang Guru sambil menangis tersedu-sedu. “Tuan Guru yang terhormat, sungguh engkau telah memberiku pelajaran paling berharga yang tidak semua penguasa mendapatkannya. Jikapun ada, mereka tidak bisa memahami pelajaran itu karena teramat berat dan pahit serta sulit untuk diterima” kata Sang Raja sambil terisak-isak bagai anak kecil kehilangan mainannya. “Bangkitlah, dan ingatlah pelajaran saat kau menerima tamparan dan saat kau mengetahui alasannya. Semoga kau selalu mengingatnya selama kau berkuasa” jawab sang Guru. Sang Raja pun melepaskan kaki sang Guru, namun beliau tetap berlutut dan memerintahkan semua yang hadir untuk turut berlutut di hadapan sang Guru. Para pengawal, pejabat istana dan semua yang hadir kebingungan dan akhirnya ikut berlutut di hadapan sang Guru bersama Raja mereka. “Sudikah tuan Guru tinggal bersama kami di Istana ini? Sungguh kami yang bodoh dan zalim ini masih ternyata masih memerlukan nasihat dan wejangan bijak Tuan Guru” kata Raja terbata-bata. “Anakku, muridku yang baik” Sang Guru berkata dengan lembut “Ketahuilah bahwa kehidupan istana yang serba nyaman dan mewah ini sesungguhnya adalah ujian yang jauh lebih berat daripada kehidupanku yang sederhana di tepi hutan. Saat masih berkuasa sebagai seorang raja, ayahmu sudah berulang kali menawarkan padaku untuk tinggal di istana. Namun, aku selalu menolaknya. Aku sadar, aku tidak akan kuat menahan godaan untuk memperturutkan segala keinginanku yang dengan mudah bisa diperoleh karena kedekatanku pada penguasa, yaitu ayahmu. Bagiku, apa yang sudah kumiliki di tepi hutan sana sudah lebih dari cukup.” Sang Raja pun bangkit kembali dan duduk di singgasananya, setelah itu dia berkata “Meskipun demikian, apa yang bisa kami berikan untuk tuan Guru?”. “Kalian semua tidak perlu memberiku apapun, yang kuminta hanya satu. Ingatlah pelajaran hari ini agar kalian semua selamat di kemudian hari” kata sang Guru “kini aku hanya ingin pulang ke gubukku di tepi hutan sana. Permisi”. Sang Guru pun meninggalkan Ruang Singgasana dan pergi keluar dari Istana, untuk kembali ke gubuknya yang sederhana di tepi hutan. TAMAT